Assalamu'alaikum..
Sepatah kata agar dipahami, materi dibawah ini ngopast dari blog ini => http://fisip8.wordpress.com/2009/11/01/dasar-dasar-logika/ mohon jangan dianggap punya saya..
agar tidak ada kesalah pahaman..
Pengantar
Ada
dua orang bekas pejabat tinggi Indonesia: BJ Habibie dan Harmoko. Keduanya
punya persamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya, jika yang pertama pernah
menjadi presiden maka yang kedua pernah menjadi ketua MPR/DPR. Keduanya juga
dikenal sama-sama suka berbicara. Tetapi di sini pulalah letak perbedaannya.
Di
kalangan intelektual secara terbatas beredar anekdot: kalau BJ Habibie
berbicara panjang lebar sambil mem-plotot-kan matanya berarti mulutnya tidak
mampu mengimbangi kecepatan berpikirnya. Ibarat computer CPU-nya terlalu
canggih daripada printer-nya. Sebaliknya dengan Harmoko, banyak berbicara
karena tidak berpikir. Bahkan secara sarkastis ada yang mem-pleset-kan namanya
sebagai akronim Hari-hari omong kosong.
Orang
bijak mengatakan pikir itu pelita hati. Dengan kata lain, berpikirlah dulu
sebelum berbicara. Mulutmu harimaumu yang akan menerkam kepalamu. Sesal dahulu
pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Di sinilah letak pentingnya logika
sebagai pengetahuan dan seni berpikir yang lurus. Artinya, berpikir yang sesuai
dengan hukum-hukum logika.
Dalam
konteks historis, kajian ini sudah dirintis manusia ratusan tahun sebelum Yesus
Kristus lahir. Dimulai oleh para filsuf Yunani kuno. Antara lain Aristoteles
(384 – 322 SM) dengan nama analitika atau dialektika. Dalam dunia akademik
logika pun mutlak dipelajari sebagai mata kuliah tersendiri. Dengan demikian,
apabila ada mahasiswa bahkan dosen yang berbicara plintat-plintut tidak
sistematis maka dapat disimpulkan logikanya tidak jalan.
Di
sela-sela padatnya aktivitas mengajar, sebagai dosen yang mengasuh mata kuliah:
Dasar-Dasar Logika, saya pun mencoba menulis semacam diktat kuliahnya. Ini
dimaksudkan untuk memperlancar proses belajar-mengajar di ruang kuliah. Bukan
sebagai bacaan instant mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini. Apalagi sampai
sangat tergantung pada diktat yang nanti ujung-ujungnya dikuatirkan mereka akan
menjelma jadi “diktator” akademik.
Akhir
kata, izinkanlah saya untuk tidak mengharapkan kritik yang membangun atau yang
sejenisnya dari pembaca. Serta tidak akan minta maaf jika tulisan ini dianggap
tidak layak disebut sebagai tulisan ilmiah. Sebab lebih adil bila Anda membuat
tulisan dengan tema yang sama sebagai komparasinya. Sekian!
Jakarta,
Agustus 2009
Penulis,
Teguh
Kresno Utomo, S.IP
I.
Introduksi
Tulisan
ini hanya memuat tiga pokok bahasan. Pertama, logika dan filsafat yang membahas
bagaimana kaitan logika dan filsafat. Artinya, berbicara tentang logika
sekaligus berbicara tentang filsafat. Tetapi “logika”-nya tidak bisa dibalik.
Sebab berbicara tentang filsafat belum tentu berbicara tentang logika. Banyak
kesalahpahaman yang mencampuradukkan logika dengan ilmu. Padahal secara
filosofis, logika tidak bisa digolongkan pada ilmu. Ia hanya sekedar
pengetahuan (knowledge) yang diramu dengan sedikit seni (art) untuk memahami
ilmu pengetahuan (scientific knowledge). Kedua, tinjauan logika yang memaparkan
sejarah logika mulai dari logika tradisional Aristotelian di zaman Yunani kuno,
logika dalam peradaban Islam yang mengislamkan unsur pagan (syirik) hellenisme
(Yunani) sebelum menerjemahkankannya ke dalam bahasa Arab sampai dengan logika
modern Barat yang akhirnya menerjemahkan warisan pemikiran Islam itu ke dalam
bahasa Latin. Selanjutnya dibahas asas-asas logika. Ada dua asas dalam logika yaitu
asas utama dan asas turunan. Kedua asas ini sangat menentukan untuk menuju
kebenaran logis. Berikutnya memperkenalkan sepintas logika simbolik yang
menjadi bagian dari logika modern dengan menggunakan simbol-simbol secara
intensif untuk menghindari makna ganda. Sementara yang terakhir membahas proses
berpikir melalui beberapa tahap diantaranya tahap konsep, tahap keputusan
dengan segala macam variannya dan tahap kesimpulan. Ketiga, seputar silogisme
yang merupakan manifestasi proses berpikir dengan metode rasional-deduktif
dalam membuat kesimpulan. Disini diuraikan tiga jenis silogisme yakni silogisme
kategoris, silogisme kondisional hipotetis dan silogis disjungtif.
II.
Logika dan Filsafat
Sebelum
berbicara lebih jauh tentang logika, lebih baik didiskusikan lebih dahulu
filsafat yang mendasarinya. Dari sisi the origin and derivation of a word, kata
“filsafat” yang berkembang di Indonesia diadobsi dari falsafah (Arab) dan
philosophy (Inggris) yang bermuara pada philosophia (Yunani) yang terdiri dari
philos (cinta) dan sophos (bijaksana).
Obyek
materi filsafat (material object/subject matter: sesuatu yang dijadikan sasaran
penyelidikan) adalah “yang ada” (being). Ini pun terbagi tiga: Pertama, ada
dalam kenyataan (reality). Kedua, ada dalam pikiran (mind). Ketiga, ada dalam
kemungkinan (possibility). Sementara obyek formal filsafat (view of point: cara
memandang obyek penelitian) adalah “aspek keumuman” (essence) yaitu: ada dalam
dunia konsep atau akal budi (logos). Ini berbeda secara diametral dengan dunia
empiris (perceptual knowledge).
Logika
berkaitan dengan yang disebut terakhir di atas. Artinya, berbicara tentang
logika berarti berbicara tentang relasi antarkonsep dan komparasinya dengan
memenuhi syarat-syarat koheren (coherence) dan runtut (consistence). Kalau yang
pertama dimaknai sebagai kesinambungan cara dengan tujuan maka yang kedua
berarti antara satu cara dengan cara lainnya tidak saling menegasikan dalam
rangka mencapai tujuan.
Singkatnya,
berbicara tentang logika berarti berbicara tentang filsafat. Sebab logika
adalah bagian dari filsafat. Tetapi tidak bisa dibalik dengan mengatakan
berbicara tentang filsafat berarti berbicara tentang logika. Selanjutnya akan
dibahas sepintas tentang bagian-bagian filsafat di bawah ini:
1. Metafisika (metaphysics): meta (Yunani)
berarti di balik atau telaah “yang ada” sebagai “ada” (the study of being as
such). Ini terdiri dari tiga bidang: Pertama, ontologi (ontology) membahas
sifat dasar kenyataan yang sedalam-dalamnya. Kedua, kosmologi (cosmology)
membahas perkembangan alam semesta dalam artian ruang dan waktu sebagai sistem
yang teratur. Ketiga, antropologi (anthropology) membahas keberadaan manusia
dalam arti jasad (matter) dan pikiran (mind).
2. Epistemologi (epistemology): episte
(Yunani) berarti telaah tentang asal mula struktur dan validitas pengetahuan.
3. Metodologi (methodology): semacam
analisa dan pengaturan secara sistematis dari asas-asas, proses rasional dan
eksperimental untuk membimbing suatu penelitian ilmiah. Misalnya, rational
method (teologi), axiomatic method (matematika), hypotetic deductive method
(silogisme), nomological method/inductive method (kima/farmasi), descriptive
method (fisika/ilmu sosial), historical method (sejarah) dan psychological
method (psikologi).
4. Etika (ethics): tidak lain dari
filsafat moral (moral philosophy) yang mengkaji nilai (judgement of value) dan
kewajiban (judgement of obligation).
5. Estetika (aesthetics): berasal dari
aesthetikos (Yunani) yang berkaitan dengan pencerapan seni dan keindahan (art
and beauty).
6. Logika (logics): berasal dari logos
(Yunani) yang berarti akal budi atau nalar (reason). Ini adalah telaah tentang
penalaran (reasoning) yang lurus (correct argument) yang menunjukkan bukti
bahwa suatu keterangan tertentu (premis mayor) mengikuti keterangan lainnya
(premis minor) secara runtut untuk mengambil suatu keputusan (konklusi).
III.
Tinjauan Logika
A.
Sejarah Logika
Seperti
yang telah disebutkan semula, logika berasal dari logos atau logike episteme
(Yunani), mantiq (Arab), logica scientia (Latin) dan logics is the knowledge and
art of correct thinking (Inggris) yakni, pengetahuan yang diramu dengan sedikit
seni dalam kinerja logos agar dapat berpikir lurus yang dinyatakan via bahasa
untuk memahami ilmu pengetahuan. Dalam bahasa awam logika sering kali
ditukartempatkan dengan logis alias masuk akal.
Perkembangan
selanjutnya, logika digolongkan pada beberapa bidang: Pertama, dari sisi metode
terbagi atas logika tradisional atau logika filosofis yakni yakni asas-asas
penalaran dalam pembahasan filsafat dengan menggunakan sistem logika
Aristotelian dan logika modern atau logika matematika yakni asas-asas penalaran
dengan menggunakan simbol-simbol khusus untuk menghindari makna ganda yang
dimulai pada abad XV. Kedua, dari sisi kualitas terbagi atas logika naturalis
atau logika alamiah yakni kinerja akal budi manusia yang telah ada sejak
dilahirkan yang belum dipengaruhi oleh keinginan subyektif dan logika
artifisialis atau logika ilmiah yakni asas-asas penalaran yang dipelajari untuk
mempertajam akal budi manusia. Ketiga, dari sisi obyek terbagi atas logika
formal atau logika minor atau logika deduktif yakni asas-asas penalaran yang
harus ditaati untuk mencapai kebenaran rasional yang diturunkan dari suatu
kesimpulan umum sampai pada hal khusus dan logika material atau logika mayor atau
logika induktif yakni asas-asas penalaran dari hal khusus sampai pada
kesimpulan umum. Keempat, dari sisi penggunaan terbagi atas logika murni yakni
asas-asas penalaran yang berlaku umum sebagai pengetahuan berpikir yang benar
dan logika terapan yakni penggunaan asas-asas penalaran dalam kehidupan
manusia.
Perintis
logika Yunani kuno dimulai oleh Thales (624 – 548) yang menggunakan logos
versus mithos dalam memahami air sebagai arkhe (jiwa) dari cosmos (alam
semesta). Logika juga digunakan dalam keprihatinan moral Socrates terhadap kaum
sophis yang menganut paham subyektivisme, relativisme dan nihilisme. Murid
Socrates, Plato (427 – 347 SM) mengatakan bahwa kebenaran itu berasal dari
dunia ide. Terakhir murid Plato, Aristoteles (384 – 322 SM) menggagas logika
secara lebih sistematis yang kelak menguasai peradaban manusia selama ribuan
tahun. Ia menyebutnya analitica: argumentasi dari proposisi yang benar dan
dialektica: argumentasi dari proposisi yang diragukan kebenarannya. Pemikiran
Aristoteles ini disusun oleh murid-muridnya, diantaranya Zeno (334 – 226 SM)
dari Citium pelopor kaum Stoa dengan nama Organon yang terdiri dari categoriae
(pengertian), de interpretatiae (keputusan), analytica priora (silogisme),
analytica posteriora (pembuktian), topica (perdebatan) dan de sophisticis
elenchis (kesesatan pikiran). Logika warisan Aristoteles inilah yang biasa
disebut logika tradisional.
Kalau
mau jujur, sebenarnya logika modern dalam peradaban Barat yang berkembang pada
abad XV berhutang budi pada peradaban Islam yang merajai dunia intelektual
sebelumnya. Para pemikir muslim sendiri sudah mengenal logika sejak abad II H.
Filsuf neoplatonisme Ya’qub ibn Is’haq al Kindi (275 H/870 M) adalah pemikir
Islam pertama yang mengislamkan unsur pagan (syirik) dari pemikiran hellenisme
(Yunani) sebelum menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab dalam masa kekuasaan
Bani Abbasyiah (749 – 1258) yang berpusat di Baghdad Irak. Serta menganggap
Aristoteles sebagai al Mu’allim al Awwal (guru yang pertama). Kemunculan ilmu
Kalam (teologi rasional) yang dirintis oleh Mu’tazilah yang menganggap akal
budi sama dengan wahyu dalam memahami agama sebagai tanda kuatnya pengaruh
hellenisme ini.
Setelah
itu giliran Barat yang mulai menerjemahkan logika warisan karya pemikir muslim
dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Berikut muncul sederet nama sebagai
perintis logika modern: Raymundus Lullus (1232 – 1315) yang memperkenalkan Ars
Magna sejenis aljabar untuk membuktikan kebenaran tertinggi. Francis Bacon
(1561 – 1626) mempaparkan logika induktif dalam karyanya Novum Organum
Scientarium. Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646 – 1716) dengan logika simbolik
yang menggunakan rumusan aljabar. Immanuel Kantz (1724 – 1804) dengan logika
transedental yakni semacam pemikiran yang mengatasi batas pengalaman manusia.
John Locke (1632 – 1704) menulis An Essay Concerning Human Understanding. John
Stuart Mills (1806 – 1873) menulis System of Logics. George Wilhelm Friedrich
Hegel (1770 – 1831) menggagas logika dialektik-idealisme untuk menjawab
persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh logika formal. Karl Marx (1818 –
1883) meminjam pemikiran dialektis Hegel dengan membuang elemen mistisnya
menjadi dialektika materialis-historis. Marx menelaah sejarah peradaban manusia
yang tidak lain dari sejarah penindasan manusia atas manusia dalam rangka
kepemilikan alat-alat produksi. Varian marxisme sebagai alat analisis sosial
berkembang menjadi: marxisme Soviet Rusia (Trotsky, Lenin dan Stalin); marxisme
Eropa (Antonio Gramsci); marxisme Amerika Latin (Che Guevara); maoisme China
(Mao Tse Tung); mahzab Frankfurt Jerman (Jurgen Habermas). John Venn (1834 –
1923) menciptakan diagram Venn yang terkenal itu. Bertrand Arthur William
Russel (1872 – 1970) menulis Principia Mathematica yang mengatakan matematika
sebagai masa kedewasaan logika.
B.
Asas-Asas Logika
Obyek
material logika adalah berpikir (thinking) dan obyek formalnya adalah berpikir
yang lurus (correct thinking). Ini berbeda dengan kesesatan (fallacy). Intinya,
konklusi logika berupa kebenaran logis (logical truth) adalah kebenaran yang
diperoleh sesuai dengan asas-asas logika yang sudah jelas dengan sendirinya
(self evident), a priori dan sesuai dengan kenyataan (reality).
1. Asas Utama (first principle):
Asas
penalaran yang mendahului atau tidak tergantung pada asas lainnya yang terdiri
dari:
a) Asas persamaan (principium
identitatis): sesuatu itu identik dengan dirinya sendiri. Contoh: p = p: Aku
adalah aku.
b) Asas pertentangan (principium
kontradiktoris): rumusan negatif dari pernyataan positif, sesuatu yang
bertentangan tidak boleh diakui atau ditolak secara bersamaan. Contoh: p ≠ ¬p:
Aku bukanlah bukan aku.
c) Asas tidak ada kemungkinan ketiga
(principium exclusii tertii): sesuatu tidak bisa menjadi bagian dari dua hal
yang saling menegasikan secara bersamaan. Contoh: p V ¬p: Aku atau bukan aku.
2. Asas Turunan (derived principle):
Asas
yang tergantung pada asas utama yang terdiri dari:
a) Asas kesesuaian (principium
convenientiae): jika salah satu dari dua hal sesuai dengan yang ketiga maka
yang lainnya juga sesuai. Contoh: jika A = B, B = C, maka A = C
b) Asas ketidaksesuaian (principium
inconvenientiae/discrepantiae): jika salah satu dari dua hal tidak sesuai
dengan yang ketiga maka yang lainnya juga tidak sesuai. Contoh: jika A = B, B ≠
C maka A ≠ C
c) Asas dikatakan semua (principium dictum
de omni): jika sesuatu yang berlaku secara universal pada sesuatu maka berlaku
pula secara partikularnya. Contoh: Manusia berpikir, Harmoko juga berpikir.
d) Asas tidak dikatakan semua (principium
dictum de nulle): jika sesuatu tidak berlaku secara universal maka tidak
berlaku pula secara partikularnya. Contoh: Binatang tidak berpikir, keledai
juga tidak berpikir.
C.
Sekilas Logika Simbolik
Logika
simbolik adalah logika modern yang dirintis oleh George Boole dan De Morgan dua
ribu tahun pasca kejayaan logika tradisional Aristotelian dengan menggunakan
simbol-simbol logika secara intensif untuk menghindari makna ganda.
1.
Konjungsi (…dan…)
p:
Ia makan nasi goreng.
q:
Ia minum teh.
p
Λ q: Ia makan nasi goreng dan minum teh.
¬p
Λ q: Ia tidak makan nasi goreng tetapi minum teh.
(“tetapi”
bisa digolongkan pada “dan”).
p
Λ ¬q: Ia makan nasi goreng dan tidak minum teh.
¬p
Λ ¬q: Ia tidak makan nasi goreng dan tidak minum teh.
¬(p
Λ q) ≡ ¬p V ¬q: Tidak benar ia makan nasi goreng dan minum teh ekuivalen Ia
tidak makan nasi goreng atau tidak minum teh.
2.
Disjungsi (…atau…)
p:
Jakarta ibu kota provinsi DKI.
q:
Jakarta ibu kota RI.
p
V q: Jakarta ibu kota provinsi DKI atau ibu kota RI.
(disjungsi
inklusif, baik p atau q keduanya benar).
p:
Ia memberi kuliah logika.
q:
Ia menonton berita di televisi.
p
V q: Ia memberi kuliah logika atau menonton berita di televisi.
(disjungsi
eksklusif, salah satu dari p atau q yang benar. Tetapi tidak bisa keduanya
benar sekaligus).
¬p
V q: Ia tidak memberi kuliah logika atau menonton berita di televisi.
p
V ¬q: Ia memberi kuliah logika atau tidak menonton berita di televisi.
¬p
V ¬q: Ia tidak memberi kuliah logika atau tidak menonton berita di televisi.
¬(p
V q) ≡ ¬p Λ ¬q: Tidak benar ia memberi kuliah logika atau menonton berita di
televisi ekuivalen Ia tidak memberi kuliah logika dan tidak menonton berita di
televisi.
3.
Implikasi (jika…maka…)
p:
Ia menguasai materi kuliah filsafat.
q:
Ia lulus ujian filsafat.
p
q ≡ ¬p V q: Jika ia menguasai materi kuliah filsafat maka ia lulus ujian
filsafat ekuivalen Ia tidak menguasai materi kuliah filsafat atau lulus ujian
filsafat.
¬(p
q) ≡ ¬(¬p V q) ≡ p Λ ¬q: Tidak benar jika ia menguasai materi kuliah filsafat
maka ia lulus ujian filsafat ekuivalen Tidak benar ia tidak menguasai materi
kuliah filsafat atau lulus ujian filsafat ekuivalen Ia menguasai materi kuliah
filsafat dan tidak lulus ujian filsafat.
¬p
¬q: Jika ia tidak menguasai materi kuliah filsafat maka ia tidak lulus ujian
filsafat (invers).
q
p: Jika ia lulus ujian filsafat maka ia menguasai materi kuliah filsafat
(konvers).
¬q
¬p: Jika ia tidak lulus ujian filsafat maka ia tidak menguasai materi kuliah
filsafat (kontraposisi).
4.
Biimplikasi (…jika dan hanya jika…)
p:
Ia beristri dua.
q:
Ia setuju dengan konsep poligami.
p
q ≡ (p q) Λ (q p): Ia beristri dua jika dan hanya jika ia setuju dengan
konsep poligami ekuivalen Jika ia beristri dua maka ia setuju dengan konsep
poligami dan jika ia setuju dengan konsep poligami maka ia beristri dua.
¬(p
q) ≡ ¬[(p q) Λ (q p)] ≡ ¬[(¬p V q) Λ (¬q Vp)] ≡ ¬(¬p V q) V ¬(¬q Vp) ≡ (p
Λ ¬q) V (q Λ¬p): Tidak benar ia beristri dua jika dan hanya jika ia setuju
dengan konsep poligami ekuivalen Tidak benar jika ia beristri dua maka ia
setuju dengan konsep poligami dan jika ia setuju dengan konsep poligami maka ia
beristri dua ekuivalen Tidak benar ia tidak beristri dua atau setuju dengan
konsep poligami dan ia tidak setuju dengan konsep poligami atau beristri dua
ekuivalen Tidak benar ia tidak beristri dua atau setuju dengan konsep poligami
atau tidak benar ia tidak setuju dengan konsep poligami atau beristri dua
ekuivalen Ia beristri dua dan tidak setuju dengan konsep poligami atau ia
setuju dengan konsep poligami dan tidak beristri dua.
D.
Proses Berpikir
1.
Konsep (concept):
Pengertian
berupa term yang berarti bagaimana fungsi suatu kata dalam kalimat sebagai
subyek atau predikat yang mencakup isi (komprehensi) dan luas (ekstensi) dengan
perbandingan terbalik. Artinya, semakin banyak isi sesuatu pengertian, semakin
sempit pengertiannya. Begitu pula sebaliknya semakin sedikit isi suatu
pengertian, semakin luas pengertiannya. Contoh 1: Manusia. Contoh 2: Manusia,
laki-laki, menikah, punya dua anak laki-laki, usia 60-an tahun, bekas jenderal
bintang empat, bergelar doktor ekonomi pertanian dan tercatat dalam sejarah
sebagai presiden RI pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Terlihat pada
contoh 1 pengertiannya sangat luas dan tidak jelas acuannya, sebab isinya hanya
satu kata “manusia”. Sebaliknya pada contoh 2 pengertiannya semakin sempit
karena isinya banyak kata “manusia”, “laki-laki”, “menikah” dst…yang mengacu
pada satu sosok SBY.
2.
Keputusan (proposition):
Hasil
kegiatan penalaran yang menerima atau menolak subyek yang dinyatakan dalam
kalimat berita (declarative sentence). Perlu dicatat, subyek adalah sesuatu
yang diterima atau ditolak dan predikat adalah apa yang diterima atau ditolak
yang terdiri dari:
a).
Materi (matter):
1) Keputusan analitis (analytic
proposition): proposisi dengan predikat yang seharusnya ada pada subyek.
Contoh: Manusia berbudi luhur.
2) Keputusan sintetis (synthetic
proposition): proposisi dengan predikat yang tidak harus selalu ada pada
subyek. Contoh: Menko Perekonomian Hatta Rajasa berambut putih.
b).
Kuantitas (quantity):
1) Keputusan universal (universal
proposition): proposisi dengan predikat yang harus ada pada subyek tanpa
kecuali. Contoh: Semua manusia pasti mati.
2) Keputusan partikular (particular
proposition): proposisi dengan predikat yang mencakup sebagian dari subyek.
Contoh: Sebagian perempuan cantik.
3) Keputusan tunggal (singular
proposition): proposisi dengan predikat yang mencakup satu hal saja dari subyek.
Contoh: Mbak Tutut adalah anak perempuan tertua bekas Presiden (alm) Soeharto.
c).
Kualitas (quality):
1) Keputusan afirmatif (affirmative
proposition): proposisi dengan subyek yang dinyatakan atau ditegaskan oleh
predikat. Contoh: Anjing binatang.
2) Keputusan negatif (negative
proposition): proposisi dengan predikat yang menegasikan subyek. Contoh: Bekas
Presiden AS George W Bush bukan binatang.
d).
Relasi subyek dan predikat (subject and predicate):
1) Keputusan kategoris (categorical
proposition): proposisi dengan hubungan subyek dan predikat diterima tanpa
syarat. Contoh: Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih perempuan.
2) Keputusan hipotetis (hypothetical
proposition): proposisi dengan hubungan subyek dan predikat diterima dengan
syarat. Contoh: Jika menteri ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pro
modal asing maka pemerintahannya dicap neoliberal.
3) Keputusan disjungktif (disjunctive
proposition): proposisi dengan hanya satu yang benar dari dua predikat yang
dinyatakan (disjungsi eksklusif). Contoh: Ketua MPR Taufik Kemas pintar atau
bodoh.
e).
Gabungan kuantitas dan kualitas (quantity and quality):
1) Keputusan universal afirmatif
(affirmative universal proposition) dinyatakan dengan simbol A. Contoh: Semua
buaya binatang.
2) Keputusan partikular afirmatif
(affirmative particular proposition) dinyatakan dengan simbol I. Contoh:
Sebagian advokat perempuan.
3) Keputusan universal negatif (negative
universal proposition) dinyatakan dengan simbol E. Contoh: Semua manusia bukan
syetan.
4) Keputusan partikular negatif (negative
particular proposition) dinyatakan dengan simbol O. Contoh: Sebagian birokrat
korup.
f).
Pembalikan:
Keputusan
dengan perubahan subyek menjadi predikat atau sebaliknya predikat jadi subyek
tanpa mengubah arti dengan mengikuti empat hukum di bawah ini:
1).
Hukum I (A dibalik menjadi I). Contoh: Semua monyet binatang (A) dibalik
menjadi Sebagian binatang monyet (I).
2).
Hukum II (E dibalik menjadi E/O). Contoh: Semua manusia bukan syetan (E)
dibalik menjadi Semua syetan bukan manusia (E) atau Sebagian syetan bukan
manusia (O).
3).
Hukum III (I dibalik menjadi I). Contoh: Sebagian mahasiswa pandai (I) dibalik
menjadi Sebagian yang pandai mahasiswa (I).
4).
Hukum IV (O tidak bisa dibalik). Contoh: Sebagian manusia bukan PNS (O) tidak
bisa dibalik menjadi Sebagian PNS bukan manusia (?)
g).
Perlawanan:
Pertentangan
diantara dua keputusan atau keputusan mengenai hal yang sama tetapi berbeda
isinya.
1).
Kontradiktoris (contradiction): pertentangan antara kuantitas dan kualitas (A –
O) atau (E – I).
Contoh:
(1). Semua jaksa jujur (A).
(2).
Sebagian jaksa korup (O).
Atau
(1). Semua jaksa korup (E)
(2).
Sebagian jaksa jujur (I)
Asas-asas
kontradiksi: Pertama, jika keputusan universal Benar maka keputusan partikular
Salah atau sebaliknya jika keputusan universal Salah maka keputusan partikular
Benar. Kedua, kedua keputusan tidak bisa sama-sama Benar atau sama-sama Salah.
2).
Kontraris (contrariety): pertentangan dalam kualitas universal (A – E).
Contoh:
(1). Semua dosen pintar (A).
(2).
Semua dosen bodoh (E).
Asas-asas
kontraris: Pertama, jika salah satu keputusan Benar maka keputusan lain Salah,
tetapi jika salah satu keputusan Salah maka keputusan lain bisa Benar atau
Salah. Kedua, kedua keputusan tidak bisa sama-sama Benar. Ketiga, kedua
keputusan kemungkinan bisa sama-sama Salah.
3).
Subkontraris (subcontrariety): pertentangan dalam kualitas partikular (I – O).
Contoh:
(1). Sebagian anggota parlemen kaya (I).
(2).
Sebagian anggota parlemen miskin (O)
Asas-asas
subkontraris: Pertama, jika salah satu keputusan Benar maka keputusan lain bisa
Benar atau Salah. Kedua, kedua keputusan kemungkinan bisa sama-sama Benar,
tetapi tidak bisa sama-sama Salah.
4).
Subalternasi (subalternation): pertentangan dalam hal kuantitas saja (A – I)
atau (E – O).
Contoh:
(1). Semua artis sinetron cantik (A).
(2).
Sebagian artis sinetron cantik (I).
Atau
(1). Semua artis sinetron jelek (E).
(2).
Sebagian artis sinetron jelek (O).
Asas-asas
subalternasi: Pertama, jika keputusan universal Benar maka keputusan partikular
Benar. Kedua, jika keputusan universal Salah maka keputusan partikular bisa
Benar atau Salah. Ketiga, jika keputusan partikular Benar maka keputusan
universal bisa Benar atau Salah, tetapi jika keputusan partikular Salah maka
keputusan universal Salah.
3.
Kesimpulan (inference):
Kegiatan
akal budi (logos/mind) manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan. Selanjutnya
dari pengetahuan itu bergerak maju untuk memperoleh pengetahuan baru. Ini
berbeda dari pengetahuan intuitif (intuitive/discursive knowledge) yang terjadi
begitu saja. Cakupannya ada dua yaitu: Pertama, penemuan: akal budi bergerak
maju dari pengetahuan yang sudah dimengerti (premis) ke kesimpulan yang sebelumnya
belum dimengerti. Kedua, pembuktian: kebenaran yang telah dimengerti dan
terungkap dalam kesimpulan.
a).
Unsur-unsur pokok kesimpulan:
1) Premis (anteseden atau pangkal pikir):
pengetahuan yang dipakai sebagai titik tolak untuk memperoleh pengetahuan baru.
2) Kesimpulan (konklusi): pengetahuan baru
yang diperoleh dari premis.
3) Konsekuen: hubungan antara premis
dengan kesimpulan.
4) Validitas: kesimpulan yang lurus
(correct) dan tergantung pada konsekuen. Artinya, jika konsekuennya valid maka
kesimpulannya juga valid.
b).
Syarat-syarat kesimpulan:
1) Material: premis harus benar (true).
2) Formal: akal budi (logos atau mind)
harus lurus (correct) atau konsekuennya harus valid.
c).
Hukum kesimpulan:
1) Jika premisnya benar maka kesimpulannya
juga benar, tetapi jika kesimpulannya salah maka akal budinya yang salah.
2) Jika akal budinya benar, premisnya
salah maka kesimpulannya juga salah.
3) Jika premisnya salah, tetapi
kesimpulannya bisa benar atau salah maka itu terjadi secara kebetulan.
4) Jika kesimpulannya benar atau salah
maka premisnya juga bisa benar atau salah.
d).
Metode kesimpulan:
1) Induksi (induction): kesimpulan dari
kekhususan (partikular) ke keumuman (universal). Contoh: hukum alam.
2) Deduksi (deduction): kesimpulan dari
keumuman (universal) ke khususan (partikular). Contoh: silogisme.
IV.
Seputar Silogisme
Secara
sederhana silogisme dimaknai sebagai kesimpulan (c) yang diperoleh dari dua
keputusan berbentuk premis mayor (M) dan premis minor (m) yang terdiri dari:
A.
Silogisme Kategoris
Semua
proposisinya berbentuk kategoris: premis mayor (M) jadi term predikat (P),
premis minor (m) jadi term subyek (S) dan keduanya memuat term tengah (middle
term) yang juga disimbolkan dengan M sebagai penghubung untuk memperoleh
kesimpulan (c) secara deduktif. Artinya, predikat diterima atau ditolak oleh
subyek secara mutlak. Tetapi harus memenuhi kriteria sbb: Pertama, premis
partikular kesimpulan partikular. Kedua, premis negatif kesimpulan negatif.
Ketiga, kedua premis partikular kesimpulan tidak sah. Keempat, kedua premis
negatif kesimpulan tidak sah.
Ada
sembilas belas ragam silogisme kategoris dengan empat pola dan empat jenis
keputusan yang valid di bawah ini:
1.
Pola I (Sub pre):
Premis
mayor (M) proposisi universal dengan middle term (M) sebagai S dan premis minor
(m) proposisi afirmatif dengan middle term (M) sebagai P.
M:
M – P
m:
S – M
c:
S – P
a).
BARBARA (AAA)
M:
Semua manusia berbudi luhur (A)
m:
Semua mahasiswa manusia (A)
c:
Semua mahasiswa berbudi luhur (A)
b).
CELARENT (EAE)
M:
Semua manusia bukan syetan (E)
m:
Semua birokrat manusia (A)
c:
Semua birokrat bukan syetan (E)
c).
DARII (AII)
M:
Semua tentara berani (A)
m:
Kopassus tentara (I)
c:
Kopassus berani (I)
d).
FERIO (EIO)
M:
Semua koruptor tidak jujur (E)
m:
Mr. X koruptor (I)
c:
Mr. X tidak jujur (O)
2.
Pola II (Bis pre):
Premis
mayor (M) proposisi universal, salah satu dari premisnya harus negatif dan
kedua middle term (M) pada kedua premis sebagai P.
M:
P – M
m:
S – M
c:
S – P
a).
BAROCO (AOO)
M:
Semua ikan bisa berenang (A)
m:
Kambing tidak bisa berenang (O)
c:
Kambing bukan ikan (O)
b).
CAMESTRES (AEE)
M:
Semua bajaj beroda tiga (A)
m:
Semua sedan tidak beroda tiga (E)
c:
Semua sedan bukan bajaj (E)
c).
CESARE (EAE)
M:
Semua manusia tidak berekor (E)
m:
Semua monyet berekor (A)
c:
Semua monyet bukan manusia (E)
d).
FESTINO (EIO)
M:
Semua bencong bukan perempuan (E)
m:
Peragawati perempuan (I)
c:
Peragawati bukan bencong (O)
3.
Pola III (Bis sub):
Premis
minor (m) proposisi afirmatif, kesimpulan (c) proposisi partikular dan middle
term (M) pada kedua premis sebagai S.
M:
M – P
m:
M – S
c:
S – P
a).
BOCARDO (OAO)
M:
Sebagian PNS bodoh (O)
m:
Semua PNS manusia (A)
c:
Sebagian manusia bodoh (O)
b).
DARAPTI (AAI)
M:
Semua peragawan laki-laki (A)
m:
Semua peragawan manusia (A)
c:
Sebagian manusia laki-laki (I)
c).
DATISI (AII)
M:
Semua polisi manusia (A)
m:
Sebagian polisi berkumis (I)
c:
Sebagian yang berkumis manusia (I)
d).
DISAMIS (IAI)
M:
Sebagian hakim perempuan (I)
m:
Semua hakim manusia (A)
c:
Sebagian manusia perempuan (I)
e).
FELAPTON (EAO)
M:
Semua monyet bukan keledai (E)
m:
Semua monyet binatang (A)
c:
Sebagian binatang bukan keledai (O)
f).
FERISTON (EIO)
M:
Semua binatang bukan manusia (E)
m:
Sebagian binatang berbulu (I)
c:
Sebagian yang berbulu bukan manusia (O)
4.
Pola IV (Pre sub):
Jika
premis mayor (M) proposisi afirmatif dengan middle term (M) sebagai P maka
premis minor (m) proposisi universal dengan middle term (M) sebagai S, jika
premis minor (m) afirmatif maka kesimpulan (c) proposisi partikular dan jika
salah satu dari premis negatif maka premis mayor (M) proposisi universal.
M:
P – M
m:
M – S
c:
S – P
a).
BRAMANTIS (AAI)
M:
Semua artis sinetron manusia (A)
m:
Semua manusia berkaki dua (A)
c:
Sebagian yang berkaki dua artis sinetron (I)
b).
CAMENES (AEE)
M:
Semua pramugari perempuan (A)
m:
Semua perempuan bukan laki-laki (E)
c:
Semua laki-laki bukan pramugari (E)
c).
DIMARIS (IAI)
M:
Sebagian binatang kucing (I)
m:
Semua kucing berkumis (A)
c:
Sebagian yang berkumis binatang (I)
e).
FESAPO (EAO)
M:
Semua manusia bukan syetan (E)
m:
Semua syetan penggoda iman (A)
c:
Sebagian penggoda iman bukan manusia (O)
f).
FRESISON (EIO)
M:
Semua bule bukan pribumi (E)
m:
Sebagian pribumi berambut pirang (I)
c:
Sebagian yang berambut pirang bukan bule (O)
B.
Silogisme Kondisional Hipotetis
1.
Silogisme Kondisional Hipotetis Campuran (The Mixed Conditional Hypothetic
Syllogism): premis mayor (M) berbentuk proposisi hipotetis, premis minor (m)
yang mengakui atau mengingkari anteseden atau konsekuen dan kesimpulan (c)
berbentuk proposisi kategoris dengan empat tipe di bawah ini.
a).
Tipe I:
Premis
minor (m) mengakui anteseden dan kesimpulan (c) mengakui konsekuen.
M:
Jika ia menguasai materi kuliah maka ia lulus ujian.
m:
Ternyata, ia menguasai materi kuliah.
c:
Jadi, ia lulus ujian.
b).
Tipe II:
Premis
minor (m) mengakui konsekuen dan kesimpulan (c) mengakui anteseden:
M:
Jika ia menguasai materi kuliah maka ia lulus ujian.
m:
Ternyata, ia lulus ujian.
c:
Jadi, ia menguasai materi kuliah.
c).
Tipe III:
Premis
minor (m) mengingkari anteseden dan kesimpulan (c) mengingkari konsekuen:
M:
Jika ia menguasai materi kuliah maka ia lulus ujian.
m:
Ternyata, ia tidak menguasai materi kuliah.
c:
Jadi, ia tidak lulus ujian.
d).
Tipe IV:
Premis
minor (m) mengingkari konsekuen dan kesimpulan (c) mengingkari anteseden:
M:
Jika ia menguasai materi kuliah maka ia lulus ujian.
m:
Ternyata, ia tidak lulus ujian.
c:
Jadi, ia tidak menguasai materi kuliah.
Modus
Ponnens: premis minor (m) mengakui anteseden dan kesimpulan (c) mengakui
konsekuen melahirkan empat pola di bawah ini:
a).
Pola I:
M:
Jika A maka B
m:
Ternyata, A
c:
Jadi, B
M:
Jika ia menguasai materi kuliah maka ia lulus ujian.
m:
Ternyata, ia menguasai materi kuliah.
c:
Jadi, ia lulus ujian.
b).
Pola II:
M:
Jika A maka bukan B
m:
Ternyata, A
c:
Jadi, bukan B
M:
Jika hujan turun maka ia tidak ke kampus.
m:
Ternyata, hujan turun.
c:
Jadi, ia tidak ke kampus.
c).
Pola III:
M:
Jika bukan A maka bukan B
m:
Ternyata, bukan A
c:
Jadi, bukan B
M:
Jika dosen tidak hadir maka kuliah dibatalkan.
m:
Ternyata, dosen tidak hadir.
c:
Jadi, kuliah dibatalkan.
d).
Pola IV:
M:
Jika bukan A maka B
m:
Ternyata, bukan A
c:
Jadi, B
M:
Jika hujan tidak turun maka ia ke kampus.
m:
Ternyata, hujan tidak turun.
c:
Jadi, ia ke kampus.
Modus
Tollendo Tollens: premis minor (m) mengingkari konsekuen dan kesimpulan (c)
mengingkari anteseden melahirkan empat pola di bawah ini:
a).
Pola I:
M:
Jika A maka B
m:
Ternyata, bukan B
c:
Jadi, bukan A
M:
Jika hujan turun maka selokan meluap.
m:
Ternyata, selokan tidak meluap.
c:
Jadi, hujan tidak turun.
b).
Pola II:
M:
Jika A maka bukan B
m:
Ternyata, B
c:
Jadi, bukan A
M:
Jika hujan turun maka ia tidak ke kampus.
m:
Ternyata, ia ke kampus.
c:
Jadi, hujan tidak turun.
c).
Pola III:
M:
Jika bukan A maka bukan B
m:
Ternyata, B
c:
Jadi, A
M:
Jika dosen tidak hadir maka kuliah dibatalkan.
m:
Ternyata, ada kuliah.
c:
Jadi, dosen hadir.
d).
Pola IV:
M:
Jika bukan A maka B
m:
Ternyata, bukan B
c:
Jadi, A
M:
Jika hujan tidak turun maka ia ke kampus.
m:
Ternyata, ia tidak ke kampus.
c:
Jadi, hujan turun.
2.
Silogisme Kondisional Murni (The Pure Conditional Hypothetic Syllogism): premis
mayor (M), premis minor (m) dan kesimpulan (c) berbentuk proposisi hipotetis.
M:
Jika ia menguasai materi kuliah maka ia lulus ujian.
m:
Jika ia membaca seluruh literatur yang berkaitan dengan mata kuliah maka ia
menguasai materi kuliah.
c:
Jika ia membaca seluruh literatur yang berkaitan dengan mata kuliah maka ia
lulus ujian.
C.
Silogisme Disjungtif
Premis
mayor (M) berbentuk proposisi disjungtif (alternatif), premis minor (m) yang
mengakui atau mengingkari premis mayor (M) dan kesimpulan (c) berbentuk
proposisi kategoris.
1.
Silogisme Disjungtif sempurna (sempit): premis mayor (M) bersifat alternatif
yang kontradiktif, premis minor (m) yang mengakui atau mengingkari premis mayor
(M) dan kesimpulan (c) benar jika prosedurnya valid.
M:
Ia cantik atau jelek.
m:
Ternyata, ia cantik.
c:
Jadi, ia tidak jelek.
2.
Silogisme Disjungtif tidak sempurna (luas): premis mayor (M) bersifat
alternatif nonkontradiktif dengan ketentuan sbb:
Pertama:
jika premis minor (m) mengakui salah satu alternatif dalam premis mayor (M)
maka kesimpulan (c) benar.
M:
Ia di kampus atau di kantin.
m:
Ternyata, ia di kampus.
c:
Jadi, ia tidak di kantin.
Kedua:
jika premis minor (m) mengingkari salah satu alternatif dalam premis mayor (M)
maka kesimpulan (c) salah.
M:
Ia di kampus atau di kantin.
m:
Ternyata, ia tidak di kampus.
c:
Jadi, ia di kantin (?) (bisa jadi ia di mall).
0 komentar:
Posting Komentar