Materi
Kuliah Pengantar Filsafat [02]
Materi
Perkuliahan: Pengantar Filsafat
Pertemuan
ke: 2
Dosen
Pengampu: Indra Tjahyadi, S.S.
Pokok
Bahasan: Mengenal Filsafat
Sub
Pokok Bahasan: 1. Pengertian Filsafat; 2. Objek Filsafat;
3.
Metode Filsafat; 4. Peranan dan Tujuan Filsafat
MENGENAL
FILSAFAT
I.
Pengertian Filsafat
Setiap
kali saya memulai untuk pertama kali memberikan perkuliahan mata kuliah
"Pengantar Filsafat", saya senantiasa dihadapkan pada pertanyaan:
"Apakah filsafat itu?" Sungguh ini merupakan pertanyaan yang
sederhana, bahkan sangat sederhana. Tapi, untuk memberikan jawaban yang dapat
memuaskan dan benar-benar menjawab pertanyaan tersebut, itu bukanlah perkara
yang mudah.
Ada
yang mengira bahwa filsafat itu sesuatu yang kabur, serba rahasia, mistis,
aneh, tak berguna, tak bermetoda, atau hanya sekedar lelucon yang tak bermakna
atau omong kosong. Selain itu ada pula yang mengira bahwa filsafat itu merupakan
kombinasi dari astrologi, psikologi dan teologi. Filsafat bukanlah semua itu.
Oxford
Pocket Dictionary mengartikan filsafat sebagai use of reason and argument in
seeking truth and knowledge of reality. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) mengartikan filsafat sebagai:
1.
pengetahuan dan penyedilikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab, dan hukumnya;
2.
teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan;
3.
ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi;
4.
falsafah.
Menurut
Kamus Filsafat, filsafat merupakan (Bagus, 2000: 242):
1.
Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap
tentang seluruh realitas.
2.
Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3.
Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya,
hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4.
Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan penyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5.
Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu manusia melihat apa yang dikatakan
dan untuk mengatakan apa yang dilihat.
Secara
etimologi atau asal kata, kata "filsafat" berasal dari sebuah kata
dalam bahasa Yunani yang berbunyi philosophia. Kata philophia ini merupakan
kata majemuk yang terdiri dari kata philos dan sophia. Kata philos berarti
kekasih atau sahabat, dan kata sophia yang berarti kearifan atau kebijaksanaan,
tetapi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan. Jadi secara etimologi,
philosophia berarti kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/
sahabat pengetahuan.
Agar
bisa menjadi kekasih atau sahabat, seseorang haruslah mengenal dekat dan akrab
dengan seseorang atau sesuatu yang ingin dijadikan kekasih atau sahabat
tersebut. Dan ini hanya bisa dilakukan apabila seseorang tersebut senantiasa
terus-menerus berupaya untuk mengenalnya secara dalam dan menyeluruh. Dengan
harapan bahwa upaya yang terus-menerus itu dapat membawa seseorang atau sesuatu
itu pada kedekatan yang akrab sehingga dapat mengasihinya.
Seseorang
yang melakukan aktivitas tersebut disebut filsuf. Filsuf adalah seseorang yang
mendalami filsafat dan berusaha memahami dan menyelidikinya secara konsisten
dan mendalam. Konsisten artinya bahwa seseorang tersebut terus menerus menggeluti
filsafat. Mendalam berarti bahwa ia benar-benar berusaha mempelajari, memahami,
menyelidiki, meneliti filsafat.
Tadi
dikatakan bahwa filsafat adalah kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau
kekasih/ sahabat pengetahuan, jadi karena ia merupakan kekasih/ sahabat
kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan, maka filsafat memiliki
hasrat untuk selalu ingin dekat, ingin akrab, ingin mengasihi kearifan/
kebjaksanaan/ pengetahuan. Tapi, kearifan/ kebijaksanaan/ pengetahuan merupakan
sesuatu yang sangat abstrak dan luas. Keabstrakan dan keluasan ini menjadikan
hasrat yang dimiliki filsafat tersebut tak mudah untuk dipuaskan sepenuhnya.
Ini menyebabkan filsafat terus-menerus melakukan usaha untuk memenuhinya. Usaha
yang terus menerus ini membuat filsafat, pada satu sisi, dikenal tak lebih dari
sebagai sebuah usaha atau suatu upaya.
Selain
sebagai sebuah usaha atau suatu upaya, William James, seorang filsuf dari
Amerika, melihat bahwa berpikir juga merupakan sisi lain dari filsafat. Menurutnya,
filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan
terang. Artinya, bahwa segala upaya yang dilakukan oleh filsafat tak dapat
dilepaskan dari tujuannya untuk meraih kejelasan dan keterangan dalam berpikir.
Jadi, berpikir adalah sisi lain yang dimiliki filsafat.
Ihwal
pentingnya keberadaan berpikir dalam filsafat, Thomas Nagel dalam Philosophy:
Basic Reading mengatakan (1987: 3):
Philosophy
is different from science and from mathematics. Unlike science doesn't rely on
experiments or observation, but only on thought. And unlike mathematics it has
no formal methods of proof. It is done just by asking questions, arguing,
trying out ideas and thinking of possible arguments against them, and wondering
how our concepts really work.
Bagi
manusia, berpikir adalah hal yang sangat melekat. Manusia, merujuk pada
Aritoteles, adalah animal rationale atau mahluk berpikir. Tidak seperti
mahluk-mahluk lainnya, oleh Tuhan manusia diberi anugerah yang sangat istemewa
yakni akal. Dengan akal, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan
mengatasi dan memecahkan segala permasalahan yang dihadapinya pikirannya.
Karena filsafat mengandaikan adanya kerja pikiran, maka sifat pertama yang
terdapat dalam berpikir secara filsafat adalah rasional.
Rasional
berarti bahwa segala yang dipikirkannya berpusar pada akal. Tapi, tidak semua
aktivitas berpikir manusia dapat dikatakan berpikir secara filsafat. Untuk
dapat dikatakan bahwa satu aktivitas berpikir itu merupakan berpikir secara
filsafat, aktivitas berpikir itu haruslah bersifat metodis.
Secara
umum, berpikir metodis berarti berpikir dengan cara tertentu yang teratur.
Dalam membeberkan pikiran-pikirannya, filsafat senantiasa menggunakan cara
tertentu yang teratur. Keteraturan ini membuat pikiran-pikiran yang dibeberkan
oleh filsafat menjadi jelas dan terang. Tapi agar cara tertentu itu dapat
teratur, filsafat membutuhkan faktor lain, yakni sistem.
Sebagai
sebuah sistem, filsafat suatu susunan teratur berpola yang membentuk suatu
keseluruhan. Ia terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen yang secara
teratur menurut pola tertentu, dan membentuk satu kesatuan. Adanya sistem
membuat satu cara berpikir tertentu yang teratur tetap pada keteraturannya.
Oleh karena itu, selain berpikir metodis filsafat juga memiliki sifat berpikir
sistematis.
Berpikir
secara sistematis memiliki pengertian, bahwa aktivitas berpikir tersebut
haruslah mengikuti cara tertentu yang teratur, yang dilakukan menurut satu
aturan tertentu, runtut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti satu
aturan tertentu pula tersusun menurut satu pola yang tidak tersusun secara acak
atau sembarangan. Jadi, agar dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut sedang
berpikir secara filsafat, ia haruslah berpikir menurut atau mengikuti satu aturan
tertentu yang runut dan bertahap dan tidak acak atau sembarangan.
Sistematis
mengandaikan adanya keruntutan. Jadi, berpikir filsafat atau berpikir filsafati
juga memiliki sifat runtut atau koheren. Koheren berarti bertalian. Ia
merupakan kesesuaian yang logis. Dalam koherensi, hubungan yang terjadi karena
adanya gagasan yang sama. Pada berpikir filsafat, koherensi berarti tidak
adanya loncatan-loncatan, kekacauan-kekacauan, dan berbagai kontradiksi. Dalam
koherensi, tidak boleh ada pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan.
Contoh:
Hujan
turun
Tidak
benar bahwa hujan turun
Pernyataan
yang pertama yang berbunyi "Hujan turun" bertentangan dengan
pernyataan yang kedua, "Tidak benar bahwa hujan turun,", begitu juga
sebaliknya. Dalam berpikir secara koherensi hal ini tidak dibenarkan. Karena
kedua pernyataan ini saling bertentangan. Jadi, dalam berpikir secara
koherensi, pernyataan-pernyataan yang ada haruslah saling mendukung.
Agar
dapat memperoleh pernyataan-pernyataan yang mendukung, filasafat haruslah
mencari, mendapatkan, memeriksa, ataupun menyelidiki keseluruhan pernyataan
yang ada. Filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya,
termasuk dirinya sendiri. Usaha ini membawa filsafat pada penyelidikan terhadap
keseluruhan. Jadi, sifat berpikir filsafat yang berikutnya adalah keseluruhan
atau komprehensif dalam artian bahwa segala sesuatu berada dalam jangkauannya.
Tadi
dikatakan bahwa berpikir filsafat memiliki sifat koherensi, maka agar koherensi
dapat terjadi, seorang filsuf atau seseorang yang sedang mempelajari dan
mendalami filsafat haruslah mampu memahami dan memilah pernyataan-pernyataan
yang ada. Agar dapat mencapai hal tersebut, dibutuhkan apa yang dinamakan
berpikir kritis Jadi, kritis adalah sifat berpikir filsafat yang berikutnya.
Kritis
dapat dipahami dalam artian bahwa tidak menerima sesuatu begitu saja. Secara
spesifik, berpikir kritis secara filsafat adalah berpikir secara terbuka
terhadap segala kemungkinan, dialektis, tidak membakukan dan membekukan
pikiran-pikiran yang ada, dan selalu hati-hati serta waspada terhadap berbagai
kemungkinan kebekuan pikiran.
Untuk
mencapai berpikir kritis, hal yang harus dilakukan adalah berpikir secara
skeptis. Skeptis berbeda dengan sinis. Skeptis adalah sikap untuk selalu
mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai
segala kepastian agar tidak mudah ditipu. Sedangkan sinis adalah sikap yang
berdasar pada ketidakpercayaan. Secara metaforis, sikap sinis dapat digambarkan
seperti seorang laki-laki di tengah perempuan-perempuan cantik, tapi dia malah
mencari seekor kambing yang paling buruk. Jadi, pada intinya, sikap skpetis itu
adalah meragukan, sementara sikap sinis adalah ketidakpercayaan.
Tadi
telah dipaparkan di atas, bahwa filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang
dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Agar dapat meraih hal tersebut,
filsafat harus menemukan radix (akar) dunia seluruhnya tersebut. Jadi berpikir
radikal adalah sifat berpikir filsafat yang berikutnya.
Usaha
menemukan akar dunia seluruhnya ini sangat diperlukan. Karena dengan penemuan
akarnya, diharapkan, setiap persoalan ataupun permasalahan-permasalahan yang
bertumbuhan di atasnya dapat disingkap. Untuk dapat menemukan akar tersebut,
seorang filsuf atau seseorang yang sedang mempelajari dan mendalami filsafat
perlu untuk berpikir secara radikal. Berpikir radikal merupakan cara berpikir
yang tidak pernah terpaku hanya pada satu fenomena suatu entitas tertentu, dan
tidak pernah berhenti hanya pada satu wujud tertentu.
Sampai
di sini, kiranya, kita telah mengetahui mengapa filsafat itu bukan sesuatu yang
kabur, serba rahasia, mistis, aneh, tak berguna, tak bermetoda, atau hanya
sekedar lelucon yang tak bermakna atau omong kosong.
II.
Objek Filsafat
Setiap
ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu yang menjadi lapangan penyelidikan
atau lapangan studinya. Objek ini diperoleh melalui pendekatan atau cara
pandang, metode, dan sistem tertentu. Adanya objek menjadikan setiap ilmu
pengetahuan berbeda antara satu dengan lainnya. Objek ilmu pengetahuan terdiri
dari objek materi dan objek forma.
Objek
materi adalah sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian
keilmuan. Ia bisa berupa apa saja, baik apakah itu benda-benda material ataupun
benda-benda non material. Ia tidak terbatas pada apakah hanya ada di dalam
kenyataan konkret, seperti manusia ataupun alam semesta, ataukah hanya di dalam
realitas abstrak, seperti Tuhan atau sesuatu yang bersifat Ilahiah lainnya.
Sementara objek forma adalah cara pandang tertentu, atau sudut pandang tertentu
yang dimiliki serta yang menentukan satu macam ilmu.
Seperti
halnya ilmu pengetahuan pada umumnya, filsafat juga memiliki objek yang menjadi
lapangan penyelidikan atau lapangan studinya yang terdiri dari objek materia
dan objek forma.
Bagi
Plato (+ 427-347 SM) filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan
asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Sementara bagi
Aritoteles (+ 384-322 SM), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya
mempelajari "peri ada selaku ada" (being as being) atau "peri
ada sebagaimana adanya" (being as such). Dari dua pernyataan tersebut,
dapatlah diketahui bahwa "ada" merupakan objek materia dari filsafat.
Karena filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia seluruhnya,
termasuk dirinya sendiri, maka "ada" di sini meliputi segala sesuatu
yang ada dan, bahkan, yang mungkin ada atau seluruh ada.
Penempatan
segala sesuatu yang ada dan, bahkan, yang mugkin ada atau seluruh ada sebagai
objek materia dari filsafat, membuat filsafat berbeda dengan ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya, seperti sastra, bahasa, politik, sosiologi, dsb. Jika
ilmu-ilmu pengetahuan lainnya hanya menempatkan satu bidang dari kenyataan
sebagai objek materianya, filsafat, karena berusaha memberikan penjelasan
tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri, menempatkan seluruh
kenyataan sebagai objek materia studinya. Jadi, secara singkat dapat dikatakan,
jika filsafat itu bersifat holistik atau keseluruhan, sementara ilmu
pengetahuan lainnya bersifat fragmental atau bagian-bagian.
Tadi
telah dipaparkan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan
asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada, maka untuk mencapai
hal tersebut filsafat senantiasa berusaha mencari keterangan yang
sedalam-dalamnya atas segala sesuatu. Jadi, mencari keterangan sedalam-dalamnya
merupakan objek forma dari filsafat.
III.
Metode Filsafat
Filsafat
adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan dari kenyataan. Untuk
mendapatkan hal tersebut, filsafat memiliki beberapa metode penalaran. Pertama,
metode penalaran deduksi. Secara sederhana, metode ini dapat dikatakan satu
metode penalaran yang bergerak dari sesuatu yang bersifat umum kepada yang
khusus. Dalam pengertiannya yang lebih spesifik, ia adalah proses berpikir yang
bertolak dari prinsip-prinsip, hukum-hukum, putusan-putusan yang berlaku umum
untuk suatu hal/ gejala atau prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan tentang
sesuatu yang khusus yang merupakan bagian hal/ gejala umum.. Secara sederhana,
deduksi dapat dicontohkan sbb:
Semua
manusia adalah fana
Presiden
adalah manusia
Presiden
adalah fana
Selain
deduksi, filsafat juga menggunakan metode penalaran induksi. Secara sederhana,
metode ini dapat dikatakan satu metode penalaran yang bergerak dari sesuatu
yang bersifat khusus kepada yang umum. Ia adalah proses berpikir yang bertolak
dari satu atau sejumlah fenomena/ gejala individual untuk menurunkan suatu
kesimpulan yang berlaku umum. Secara sederhana, metode ini dapat dicontohkan
sbb:
Amin
adalah murid sekolah dasar
Amin
adalah manusia
Semua
murid sekolah dasar adalah manusia
Metode
ketiga yang dimiliki filsafat adalah metode penalaran dialektika. Secara umum,
metode ini dapat dipahami sebagai cara berpikir yang dalam usahanya memperoleh
kesimpulan bersandar pada tiga hal, yakni: tesis, antitesis dan sintetis yang
merupakan hasil gabungan dari tesis dan antitesis. Contoh sederhana untuk
metode penalaran ini adalah Keluarga. Dalam satu keluarga biasanya terdapat
ayah, ibu, dan anak. Jika ayah adalah tesis, maka ibu adalah antitesis, lantas
anak merupakan sintesis karena keberadaannya ditentukan ayah dan ibu. Begitu juga
apabila ibu adalah tesis, maka ayah adalah antitesis, dan anak adalah sintesis.
IV.
Peranan dan Tujuan Filsafat
Tadi
telah dipaparkan bahwa filsafat merupakan suatu upaya berpikir yang jelas dan
terang tentang seluruh kenyataan. Upaya ini, bagi manusia, menghasilkan
beberapa peranan. Pertama, filsafat berperan sebagai pendobrak. Artinya, bahwa
filsafat mendobrak keterkungkungan pikiran manusia. Dengan mempelajari dan
mendalami filsafat, manusia dapat menghancurkan kebekuan, kebakuan, bahkan
keterkungkungan pikirannya dengan kembali mempertanyakan segala.
Pendobrakan
ini membuat manusia bebas dari kebekuan, kebakuan, dan keterkungkungan. Jadi,
bagi manusia, filsafat juga memiliki peranan sebagai pembebas pikiran manusia.
Maka, pembebas merupakan peranan kedua yang dimiliki filsafat bagi manusia.
Pembebasan
ini membimbing manusia untuk berpikir lebih jauh, lebih mendalam, lebih kritis
terhadap segala hal sehingga manusia bisa mendapatkan kejelasan dan keterangan
atas seluruh kenyataan. Jadi, peranan ketiga yang dimiliki oleh filsafat bagi
manusia adalah sebagai pembimbing.
Selain
memiliki peranan bagi manusia, filsafat juga berperan bagi ilmu pengetahuan
umumnya. Menurut Descartes (1596-1650), filsafat adalah himpunan dari segala
pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan
manusia. Ia, merujuk pada Kant (1724-1804), adalah ilmu pengetahuan yang
menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Jadi, merujuk pada dua
penrnyataan tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa bagi ilmu pengetahuan,
filsafat, memiliki peranan sebagai penghimpun pengetahuan.
Memahami
perannya sebagai penghimpun, maka filsafat dapat dikatakan merupakan induk
segala ilmu pengetahuan atau mater scientiarum. Bagi Bacon (1561-1626, filsafat
adalah induk agung dari ilmu-ilmu. Ia menangani semua pengetahuan.
Selain
sebagai induk yang menghimpun semua pengetahuan, bagi ilmu pengetahuan filsafat
juga memiliki peranan lain, yakni sebagai pembantu ilmu pengetahun.
Bagi
Bertrand Russell (1872-1970), filsafat adalah sebuah wilayah tak bertuan di
antara ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memiliki kemungkinan untuk
menyerang keduanya. Karena terdapat kemungkinan ini dalam filsafat, maka,
menurutnya, filsafat dapat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam
ilmu dan kehidupan sehari-hari, dan mencarisuatu ketidakselarasan yang dapat
terkandung di dalam asas-asas tersebut. Secara sederhana, paparan Bertrand
Russell tersebut dapat dipahami bahwa bagi pengetahuan, filsafat juga memiliki
peranan sebagai pembantu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut, Schlick,
seorang filsuf Wina, pernah menyatakan bahwa tugas ilmu adalah untuk mencapai
pengetahuan tentang realitas; dan pencapaian ilmu yang sebenarnya tidak pernah
dapat dihancurkan atau diubah oleh filsafat, tapi filsafat dapat menafsirkan
pencapaian-pencapaian tersebut secara benar, dan untuk menunjukkan maknanya
yang terdalam.
Dalam
menjalankan peranannya tersebut, filsafat memiliki tujuan. Menurut Plato,
filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan
murni. Jadi secara umum, tujuan filsafat adalah meraih kebenaran. Dengan
harapan kebenaran ini dapat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman
membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak. Tapi, janganlah dianggap
bahwa kebenaran yang berusaha diraih filsafat adalah sama dengan kebenaran yang
diraih agama.
Tidak
seperti agama yang menyandarkan diri dan mengajarkan kepatuhan, filsafat
menyandarkan diri dan mengandalkan kemampuan berpikir kritis. Kondisi berpikir
kritis ini sering tampil dalam perilaku meragukan, mempertanyakan, dan
membongkar sampai ke akar-akarnya. Kebenaran yang oleh agama wajib diterima,
dalam filsafat senantiasa diragukan, dipertanyakan dan dibongkar sampai ke
akar-akarnya untuk kemudian dikonstruksi menjadi pemikiran baru yang lebih
masuk akal. Maka, tak heran, apabila kebenaran yang ditawarkan filsafat
dipahami sebagai kebenaran yang logis.
Diposkan
oleh Ayo Kuliah di 06:16 dalam http://perkuliahan-perkuliahan.blogspot.com/2009/03/materi-kuliah-pengantar-filsafat-02.html
0 komentar:
Posting Komentar