Sajak-Sajak W.S Rendra

AKU TULIS PAMPLET INI
Oleh : 
W.S. Rendra

Aku tulis pamplet ini 
karena lembaga pendapat umum 
ditutupi jaring labah-labah 
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, 
dan ungkapan diri ditekan 
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini 
bisa luput besok pagi 
Ketidakpastian merajalela. 
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki 
menjadi marabahaya 
menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, 
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam 
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. 
Tidak mengandung perdebatan 
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini 
karena pamplet bukan tabu bagi penyair 
Aku inginkan merpati pos. 
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku 
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan 
kenapa harus diam tertekan dan termangu. 
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar. 
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? 
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan. 
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api. 
Rembulan memberi mimpi pada dendam. 
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai  sampah 
Kegamangan. Kecurigaan. 
Ketakutan. 
Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini 
karena kawan dan lawan adalah saudara 
Di dalam alam masih ada cahaya. 
Matahari yang tenggelam diganti rembulan. 
Lalu besok pagi pasti terbit kembali. 
Dan di dalam air lumpur kehidupan, 
aku melihat bagai terkaca : 
ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978 
Potret Pembangunan dalam Puisi




DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG

Oleh :

W.S. Rendra




Tuhanku, 
WajahMu membayang di kota terbakar 
dan firmanMu terguris di atas ribuan 
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa 
Tanah sepi kehilangan lelakinya 
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini 
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti 
sempurnalah sudah warna dosa 
dan mesiu kembali lagi bicara 
Waktu itu, Tuhanku, 
perkenankan aku membunuh 
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku 
adalah satu warna 
Dosa dan nafasku 
adalah satu udara. 
Tak ada lagi pilihan 
kecuali menyadari 
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan 
oleh bibirku yang terjajah ? 
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai 
mendekap bumi yang mengkhianatiMu 
Tuhanku 
Erat-erat kugenggam senapanku 
Perkenankan aku membunuh 
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Mimbar Indonesia 
Th. XIV, No. 25 
18 Juni 1960



GERILYA



Oleh :

W.S. Rendra

Tubuh biru 
tatapan mata biru 
lelaki berguling di jalan

Angin tergantung 
terkecap pahitnya tembakau 
bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru 
tatapan mata biru 
lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor 
diketuk gerbang langit 
dan menyala mentari muda 
melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah 
dengan sayur-mayur di punggung 
melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis 
dan duka daun wortel

Tubuh biru 
tatapan mata biru 
lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya 
anak janda berambut ombak 
ditimba air bergantang-gantang 
disiram atas tubuhnya

Tubuh biru 
tatapan mata biru 
lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani 
berlindung warna malam 
sendiri masuk kota 
ingin ikut ngubur ibunya

Siasat 
Th IX, No. 42 
1955



GUGUR

Oleh :

W.S. Rendra

Ia merangkak 
di atas bumi yang dicintainya 
Tiada kuasa lagi menegak 
Telah ia lepaskan dengan gemilang 
pelor terakhir dari bedilnya 
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak 
di atas bumi yang dicintainya 
Ia sudah tua 
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua 
susah payah maut menjeratnya 
Matanya bagai saga 
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu 
lima pemuda mengangkatnya 
di antaranya anaknya 
Ia menolak 
dan tetap merangkak 
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak 
di atas bumi yang dicintainya 
Belumlagi selusin tindak 
mautpun menghadangnya. 
Ketika anaknya memegang tangannya 
ia berkata : 
” Yang berasal dari tanah 
kembali rebah pada tanah. 
Dan aku pun berasal dari tanah 
tanah Ambarawa yang kucinta 
Kita bukanlah anak jadah 
Kerna kita punya bumi kecintaan. 
Bumi yang menyusui kita 
dengan mata airnya. 
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. 
Bumi kita adalah kehormatan. 
Bumi kita adalah juwa dari jiwa. 
Ia adalah bumi nenek moyang. 
Ia adalah bumi waris yang sekarang. 
Ia adalah bumi waris yang akan datang.” 
Hari pun berangkat malam 
Bumi berpeluh dan terbakar 
Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata : 
“Lihatlah, hari telah fajar ! 
Wahai bumi yang indah, 
kita akan berpelukan buat selama-lamanya ! 
Nanti sekali waktu 
seorang cucuku 
akan menacapkan bajak 
di bumi tempatku berkubur 
kemudian akan ditanamnya benih 
dan tumbuh dengan subur 
Maka ia pun berkata : 
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam 
ketika menutup matanya



HAI, KAMU !
Oleh : 
W.S. Rendra





Luka-luka di dalam lembaga, 
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa, 
noda di dalam pergaulan antar manusia, 
duduk di dalam kemacetan angan-angan. 
Aku berontak dengan memandang cakrawala.

Jari-jari waktu menggamitku. 
Aku menyimak kepada arus kali. 
Lagu margasatwa agak mereda. 
Indahnya ketenangan turun ke hatiku. 
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.

Jakarta, 29 Pebruari 1978 
Potret Pembangunan dalam Puisi



LAGU SEORANG GERILYA

(Untuk puteraku Isaias Sadewa)

Oleh : 
W.S. Rendra

Engkau melayang jauh, kekasihku. 
Engkau mandi cahaya matahari. 
Aku di sini memandangmu, 
menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, 
engkau berkudung selendang katun di kepalamu. 
Engkau menjadi suatu keindahan, 
sementara dari jauh 
resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi  cahaya matahari, 
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. 
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, 
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis 
dan darah muncrat dari dadaku. 
Maka  di saat seperti itu 
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan 
bersama kakek-kakekku yang telah gugur 
di dalam berjuang membela rakyat jelata

Jakarta, 2 september 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi



LAGU SERDADU

Oleh :

W.S. Rendra

Kami masuk serdadu dan dapat senapang 
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang 
Yoho, darah kami campur arak! 
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak

Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali 
Wahai, tanah yang baik untuk mati 
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah 
cukilah ia bagi puteraku di rumah

Siasat 
No.  630, th. 13 
Nopember 1959 



MAZMUR MAWAR

Kita muliakan Nama Tuhan
Kita muliakan dengan segenap mawar
Kita muliakan Tuhan yang manis,
indah, dan penuh kasih sayang
Tuhan adalah serdadu yang tertembak
Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek
sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana
dengan baju compang-camping
membelai kepala kanak-kanak yang lapar.
Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk
Dengan pandangan arif dan bijak
membelai kepala para pelacur
Tuhan berada di gang-gang gelap
Bersama para pencuri, para perampok
dan para pembunuh
Tuhan adalah teman sekamar para penjinah
Raja dari segala raja
adalah cacing bagi bebek dan babi
Wajah Tuhan yang manis adalah meja pejudian
yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu

Dan sekarang saya lihat
Tuhan sebagai orang tua renta
tidur melengkung di trotoar
batuk-batuk karena malam yang dingin
dan tangannya menekan perutnya yang lapar
Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma,
menangis di tepi jalan.
Wahai, ia adalah teman kita yang akrab!
Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi,
Para perampok, pembunuh, penjudi,
pelacur, penganggur, dan peminta-minta
Marilah kita datang kepada-Nya
kita tolong teman kita yang tua dan baik hati.

Dikutip dari:
Sajak-sajak Sepatu Tua
Rendra
Pustaka Jaya



NOTA BENE : AKU KANGEN 
Oleh : 
W.S. Rendra

Lunglai – ganas karena bahagia dan sedih, 
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana. 
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit, 
dan anak kita akan lahir di cakrawala. 
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan 
untukmu hidupku terbuka. 
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan 
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku. 
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu 
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978 
Potret Pembangunan dalam Puisi



ORANG-ORANG MISKIN
Oleh : 
W.S. Rendra

Orang-orang miskin di jalan, 
yang tinggal di dalam selokan, 
yang kalah di dalam pergulatan, 
yang diledek oleh impian, 
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka. 
Rambut mereka melekat di bulan purnama. 
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, 
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. 
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. 
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka, 
di jalan  kamu akan diburu bayangan. 
Tidurmu akan penuh igauan, 
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya 
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. 
Jangan kamu bilang dirimu kaya 
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. 
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. 
Dan perlu diusulkan 
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. 
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan 
masuk ke dalam tidur malammu. 
Perempuan-perempuan bunga raya 
menyuapi putra-putramu. 
Tangan-tangan kotor dari jalanan 
meraba-raba kaca jendelamu. 
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol. 
Mereka akan menjadi pertanyaan 
yang mencegat ideologimu. 
Gigi mereka yang kuning 
akan meringis di muka agamamu. 
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap 
akan hinggap di gorden presidenan 
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, 
bagai udara panas yang selalu ada, 
bagai gerimis yang selalu membayang. 
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau 
tertuju ke dada kita, 
atau ke dada mereka sendiri. 
O, kenangkanlah : 
orang-orang miskin 
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978 
Potret Pembangunan dalam Puisi



PAMPLET CINTA
Oleh : 
W.S. Rendra

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi. 
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan. 
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku. 
Aku merindukan wajahmu, 
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa. 
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja. 
Kata-kata telah dilawan dengan senjata. 
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini. 
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan 
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat. 
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan

Suatu malam aku mandi di lautan. 
Sepi menjdai kaca. 
Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit. 
Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada. 
Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair 
bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ? 
Udara penuh rasa curiga. 
Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat. 
Suara lautan adalah suara kesepian. 
Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna 
Makna menjadi harapan. 
……. Sebenarnya apakah harapan ? 
Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu. 
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak. 
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu. 
Aku tertawa, Ma !

Angin menyapu rambutku. 
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur. 
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung. 
Perutku sobek di jalan raya yang lengang……. 
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian. 
Aku menulis sajak di bordes kereta api. 
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar, 
aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu. 
Lalu muncullah kamu, 
nongol dari perut matahari bunting, 
jam duabelas seperempat siang. 
Aku terkesima. 
Aku disergap kejadian tak terduga. 
Rahmat turun bagai hujan 
membuatku segar, 
tapi juga menggigil bertanya-tanya. 
Aku jadi bego, Ma !

Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih. 
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku, 
dan sedih karena kita sering berpisah. 
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita. 
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ? 
Bahagia karena  napas mengalir dan jantung berdetak. 
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang. 
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi, 
memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Pejambon, Jakarta, 28 April 1978 
Potret Pembangunan dalam Puisi



SAJAK ANAK MUDA 
Oleh : 
W.S. Rendra

Kita adalah angkatan gagap 
yang diperanakkan oleh angkatan takabur. 
Kita kurang pendidikan resmi 
di dalam hal keadilan, 
karena tidak diajarkan berpolitik, 
dan tidak diajar dasar ilmu hukum

Kita melihat kabur pribadi orang, 
karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus, 
karena tidak diajar filsafat atau logika.

Apakah kita tidak dimaksud 
untuk mengerti itu semua ? 
Apakah kita hanya dipersiapkan 
untuk menjadi alat saja ?

inilah gambaran rata-rata 
pemuda tamatan SLA, 
pemuda menjelang dewasa.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan. 
Bukan pertukaran pikiran.

Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan, 
dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Dasar keadilan di dalam pergaulan, 
serta pengetahuan akan kelakuan manusia, 
sebagai kelompok atau sebagai pribadi, 
tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang. 
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang, 
tidak bisa kita hubung-hubungkan. 
Kita marah pada diri sendiri 
Kita sebal terhadap masa depan. 
Lalu akhirnya, 
menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan, 
kita hanya bisa membeli dan memakai 
tanpa bisa mencipta. 
Kita tidak bisa memimpin, 
tetapi hanya bisa berkuasa, 
persis seperti bapak-bapak kita.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat. 
Di sana anak-anak memang disiapkan 
Untuk menjadi alat dari industri. 
Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti. 
Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ? 
Kita hanya menjadi alat birokrasi ! 
Dan birokrasi menjadi berlebihan 
tanpa kegunaan – 
menjadi benalu di dahan.

Gelap. Pandanganku gelap. 
Pendidikan tidak memberi pencerahan. 
Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan 
Gelap. Keluh kesahku gelap. 
Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini ? 
Karena tidak bisa kita tafsirkan, 
lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.

Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ? 
Apakah ini ? Apakah ini ? 
Ah, di dalam kemabukan, 
wajah berdarah 
akan terlihat sebagai bulan.

Mengapa harus kita terima hidup begini ? 
Seseorang berhak diberi ijazah dokter, 
dianggap sebagai orang terpelajar, 
tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan. 
Dan bila ada ada tirani merajalela, 
ia diam tidak bicara, 
kerjanya cuma menyuntik saja.

Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja. 
Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum 
dianggap sebagi bendera-bendera upacara, 
sementara hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi 
dianggap bunga plastik, 
sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tatawarna 
yang ajaib dan tidak terbaca. 
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan. 
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan. 
Dan bila luput, 
kita memukul dan mencakar 
ke arah udara

Kita adalah angkatan gagap. 
Yang diperanakan  oleh angkatan kurangajar. 
Daya hidup telah diganti oleh nafsu. 
Pencerahan telah diganti oleh pembatasan. 
Kita adalah angkatan yang berbahaya.

Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi





SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

OLEH :

W.S. RENDRA





Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.

Amarah merajalela tanpa alamat.

Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.

Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.

O, jaman edan !

O, malam kelam pikiran insan !

Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.

Kitab undang-undang tergeletak di selokan

Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !

O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !

Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa

Allah selalu mengingatkan

bahwa hukum harus lebih tinggi

dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !

Berhentilah mencari ratu adil !

Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil.

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.

Bau anyir darah yag kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata :

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Wahai, penguasa dunia yang fana !

Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !

Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?

Apakah masih akan menipu diri sendiri ?

Apabila saran akal sehat kamu remehkan

berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap

yang akan muncul dari sudut-sudut gelap

telah kamu bukakan !

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi

Airmata mengalir dari sajakku ini.

Catatan : 
Sajak ini dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR 
(Kemarin Bengkel Teater mengirimkan dua sajak ke Jawa Pos)





SAJAK BULAN PURNAMA 
Oleh : 
W.S. Rendra

Bulan terbit dari lautan. 
Rambutnya yang tergerai ia kibaskan. 
Dan menjelang malam, 
wajahnya yang bundar, 
menyinari gubug-gubug kaum gelandangan 
kota Jakarta.

Langit sangat cerah. 
Para pencuri bermain gitar. 
dan kaum pelacur naik penghasilannya. 
Malam yang permai 
anugerah bagi sopir taksi. 
Pertanda nasib baik 
bagi tukang kopi di kaki lima.

Bulan purnama duduk di sanggul babu. 
Dan cahayanya yang kemilau 
membuat tuannya gemetaran.

“kemari, kamu !” kata tuannya 
“Tidak, tuan, aku takut nyonya !” 
Karena sudah penasaran, 
oleh cahaya rembulan, 
maka tuannya bertindak masuk dapur 
dan langsung menerkamnya

Bulan purnama raya masuk ke perut babu. 
Lalu naik ke ubun-ubun 
menjadi mimpi yang gemilang. 
Menjelang pukul dua, 
rembulan turun di jalan raya, 
dengan rok satin putih, 
dan parfum yang tajam baunya. 
Ia disambar petugas keamanan, 
lalu disuguhkan pada tamu negara 
yang haus akan hiburan.

Yogya, 22 Oktober 1976 
Potret Pembangunan dalam Puisi





SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR 
Oleh : 
W.S. Rendra



Angin gunung turun merembes ke hutan, 
lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, 
dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. 
Kemudian hatinya pilu 
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh 
yang terpacak di atas tanah gembur 
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani – buruh bekerja, 
berumah di gubug-gubug tanpa jendela, 
menanam bibit di tanah yang subur, 
memanen hasil yang berlimpah dan makmur 
namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah 
yang mempunyai istana indah. 
Keringat mereka menjadi emas 
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. 
Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, 
para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, 
dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir 
dari parit-parit wajah rakyatku. 
Dari pagi sampai sore, 
rakyat negeriku bergerak dengan lunglai, 
menggapai-gapai, 
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, 
di dalam usaha tak menentu. 
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah, 
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai, 
dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor, 
berjuta-juta burung kondor, 
bergerak menuju ke gunung tinggi, 
dan disana mendapat hiburan dari sepi. 
Karena hanya sepi 
mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit. 
Di dalam marah menjerit, 
bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit 
di batu-batu gunung menjerit 
bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, 
mematuki batu-batu, mematuki udara, 
dan di kota orang-orang  bersiap menembaknya.

Yogya, 1973 
Potret Pembangunan dalam Puisi





SAJAK GADIS DAN MAJIKAN 
Oleh : 
W.S. Rendra

Janganlah tuan seenaknya memelukku. 
Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu. 
Aku  bukan ahli ilmu menduga, 
tetapi jelas sudah kutahu 
pelukan ini apa artinya…..

Siallah pendidikan yang aku terima. 
Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, 
kerapian, dan tatacara, 
Tetapi lupa diajarkan : 
bila dipeluk majikan dari belakang, 
lalu sikapku bagaimana !

Janganlah tuan seenaknya memelukku. 
Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu. 
Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu, 
Ketika tuan siku teteku, 
sudah kutahu apa artinya……

Mereka ajarkan aku membenci dosa 
tetapi lupa mereka ajarkan 
bagaimana mencari kerja. 
Mereka ajarkan aku gaya hidup 
yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan. 
Diajarkan aku membutuhkan 
peralatan yang dihasilkan majikan, 
dan dikuasai para majikan. 
Alat-alat rias, mesin pendingin, 
vitamin sintetis, tonikum, 
segala macam soda, dan ijazah sekolah. 
Pendidikan membuatku terikat 
pada pasar mereka, pada modal mereka.

Dan kini, setelah aku dewasa. 
Kemana lagi aku ‘kan lari, 
bila tidak ke dunia majikan ?

Jangnlah tuan seenaknya memelukku. 
Aku bukan cendekiawan 
tetapi aku cukup tahu 
semua kerja di mejaku 
akan ke sana arahnya. 
Jangan tuan, jangan ! 
Jangan seenaknya memelukku. 
Ah, Wah . 
Uang yang tuan selipkan ke behaku 
adalah ijazah pendidikanku 
Ah, Ya. 
Begitulah. 
Dengan yakin tuan memelukku. 
Perut tuan yang buncit 
menekan perutku. 
Mulut tuan yang buruk 
mencium mulutku. 
Sebagai suatu kewajaran 
semuanya tuan lakukan. 
Seluruh anggota masyarakat membantu tuan. 
Mereka pegang kedua kakiku. 
Mereka tarik pahaku mengangkang. 
Sementara tuan naik ke atas tubuhku.

Yogya, 10 Juli 1975 
Potret Pembangunan dalam Puisi





SAJAK JOKI TOBING UNTUK WIDURI
Oleh : 
W.S. Rendra

Dengan latar belakang gubug-gubug karton, 
aku terkenang akan wajahmu. 
Di atas debu kemiskinan, 
aku berdiri menghadapmu. 
Usaplah wajahku, Widuri. 
Mimpi remajaku gugur 
di atas padang pengangguran. 
Ciliwung keruh, 
wajah-wajah nelayan keruh, 
lalu muncullah rambutmu yang berkibaran 
Kemiskinan dan kelaparan, 
membangkitkan keangkuhanku. 
Wajah indah dan rambutmu 
menjadi pelangi di cakrawalaku.

Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi

0 komentar:

Posting Komentar